Hukum Niat
ZolidZone - Niat adalah rukun berpuasa sebagaimana pada seluruh
ibadah. Nabi -Shallallahu alaihi wasallam- bersabda, “Sesungguhnya setiap
amalan itu (syah atau tidaknya) tergantung dengan niatnya dan setiap orang akan
mendapatkan apa yang dia niatkan.” (HR.Al-Bukhari dan Muslim dari Umar bin
Al-Khaththab)
Niat dalam ibadah, baik wudhu, shalat, puasa dan
selainnya tidak perlu dilafazhkan. Ibnu Taimiah -rahimahullah- berkata,
“Mengucapkan niat (secara jahr) tidak diwajibkan dan tidak pula disunnahkan
berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.” (Majmu’ Al-Fatawa: 22/218-219) Dan
dalam (22/236-237) beliau berkata, “Niat adalah maksud dan kehendak, sedangkan
maksud dan kehendak tempatnya adalah di hati, bukan di lidah, berdasarkan
kesepakatan orang-orang yang berakal. Walaupun dia berniat dengan hatinya
(tanpa memantapkannya dengan ucapan, pen.), Maka niatnya syah menurut Imam
Empat dan menurut seluruh imam kaum muslimin baik yang terdahulu maupun yang
belakangan.” Maka sekedar bangunnya seseorang di akhir malam untuk makan sahur
-padahal dia tidak biasa bangun di akhir malam-, itu sudah menunjukkan dia
mempunyai maksud dan kehendak -dan itulah niat- untuk berpuasa.
Waktu Berniat
Diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ibnu Umar
dan Hafshah -radhiallahu anhuma- bahwa keduanya berkata:
“Barangsiapa yang tidak memalamkan niatnya sebelum
terbitnya fajar maka tidak ada puasa baginya.” (HR. Abu Daud no. 2454,
At-Tirmizi no. 730, An-Nasai (4/196), dan Ibnu Majah no. 1700)
Hadits ini disebutkan oleh sejumlah ulama mempunyai
hukum marfu’, yakni dihukumi kalau Nabi yang mengucapkannya. Karena isinya
merupakan sesuatu yang bukan berasal dari ijtihad dan pendapat pribadi.
Maka dari hadits ini jelas bahwa waktu niat adalah
sepanjang malam sampai terbitnya fajar. Hadits ini juga menunjukkan wajibnya
berniat dari malam hari dan tidak syahnya puasa orang yang berniat setelah
terbitnya fajar. Ini adalah pendapat mayoritas Al-Malikiah, Asy-Syafi’iyah. dan
Al-Hanabilah. Dan ini yang dikuatkan oleh Ibnu Qudamah, An-Nawawi, Ibnu
Taimiah, Ash-Shan’ani dan Asy-Syaukani.
Lain halnya puasa sunnat, waktu berniat tidak harus
malam hari, tapi bisa dilakukan setelah terbit fajar sampai sebelum
tergelincirnya matahari (waktu Dzuhur) dengan syarat ia belum makan/minum
sedikitpun sejak Subuh. Bahkan ulama mazhab Hambali, untuk puasa sunat,
membolehkan berniat setelah waktu Dzuhur.
Kembali ke persoalan, seandainya lupa berniat pada
malam hari atau tertidur, bolehkah melakukan niat setelah terbit fajar atau
pagi harinya?
Untuk lebih detailnya, marilah kita ikuti berbagai
pendapat berikut ini:
Pendapat mazhab Hanafiyah : Lebih baik bila niat puasa
(apa saja) dilakukan bersamaan dengan terbitnya fajar, karena saat terbit fajar
merupakan awal ibadah. Jika dilaksanakan setelah terbitnya fajar, untuk semua
jenis puasa wajib yang sifatnya menjadi tanggungan/hutang (seperti puasa qadla,
puasa kafarat, puasa karena telah melakukan haji tamattu' dan qiran --sebagai
gantinya denda/dam, dll) maka tidak sah puasanya.
Karena, menurut mazhab ini, puasa-puasa jenis ini niatnya
harus dilakukan pada malam hari. Tapi lain dengan puasa wajib yang hanya
dilakukan pada waktu-waktu tertentu, seperti puasa Ramadhan, nadzar, dan
pusa-puasa sunnah yang tidak dikerjakan dengan sempurna, maka boleh saja
niatnya dilakukan setelah fajar sampai sebelum Dhuhur.
Mazhab Malikiyah: Niat dianggap sah, untuk semua jenis
puasa, bila dilakukan pada malam hari atau bersamaan dengan terbitnya fajar.
Adapun apabila seseorang berniat sebelum terbenamnya matahari pada hari
sebelumnya atau berniat sebelum tergelincirnya matahari pada hari ia berpuasa
maka puasanya tidak sah walaupun puasa sunnah.
Mazhab Syafi'iyah: Untuk semua jenis puasa wajib (baik
yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu seperti puasa Ramadlan; yang sifatnya
menjadi tanggungan seperti qadla', nazar, kafarat, dll.) niat harus dilakukan
pada malam hari. Adapun puasa sunnnah, niat bisa dilakukan sejak malam hari
sampai sebelum tergelincirnya matahari. Karena Nabi saw. suatu hari berkata
pada 'Aisyah: 'Apakah kamu mempunyai makanan?'. Jawab 'Aisyah: 'Tidak punya'.
Terus Nabi bilang: 'Kalau begitu aku puasa'. Lantas 'Aisyah mengisahkan bahwa
Nabi pada hari yang lain berkata kepadanya: 'Adakah sesuatu yang bisa
dimakan?'. Jawab 'Aisyah: 'Ada'. Lantas Nabi berkata: 'Kalau begitu saya tak
berpuasa, meskipun saya telah berniat puasa'.
Mazhab Hambaliyah: Tidak beda dari Syafi'iyah, mazhab
ini mengharuskan niat dilakukan pada malam hari, untuk semupa jenis puasa
wajib. Adapun puasa sunnah, berbeda dari Syafi'iyah, niat bisa dilakukan
walaupun telah lewat waktu Dhuhur (dengan syarat belum makan/minum sedikitpun
sejak fajar).
Dan pendapat yang terakhir inilah (bolehnya niat puasa
sunat walaupun telah lewat Dhuhur) yang paling kuat.(Menurut Dr. Wahbah
al-Zuheily. --Red)
Catatan:
Kecuali kalau dia baru mendengar kabar hilal ramadhan
di pagi hari, maka ketika itu hendaknya dia berpuasa dan puasanya syah, karena
tidak mungkin bagi dia untuk kembali berniat di malam hari.
Apakah Syah Berniat Di Awal Ramadhan Untuk Sebulan
Penuh?
Pendapat yang menyatakannya syahnya adalah pendapat
Zufar, Malik, salah satu riwayat dari Ahmad dan salah satu riwayat dari Ishaq.
Hal itu karena puasa ramadhan adalah satu kesatuan,
sama seperti rangkaian ibadah haji yang cukup diniatkan sekali.
Sementara jumhur ulama berpendapat wajibnya berniat
setiap malamnya berdalilkan hadits Hafshah dan Ibnu Umar di atas.
Mereka mengatakan: Karena jumlah malam dalam ramadhan
adalah 29 atau 30 hari maka wajib untuk memalamkan niat pada tiap malam
tersebut.
Yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat yang
pertama, dan ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiah dan Syaikh
Ibnu Al-Utsaimin.
Akibat perbedaan pendapat ini nampak pada satu masalah
yaitu:
Jika seorang yang wajib berpuasa pingsan atau tidur
sebelum terbenamnya matahai dan baru sadar atau bangun setelah terbitnya fajar
kedua. Maka menurut pendapat mayoritas ulama, dia tidak boleh berpuasa dan
puasanya tidak syah walaupun dia berpuasa, sementara menurut pendapat yang
kedua dia boleh berpuasa dan puasanya syah karena telah berniat di awal
ramadhan.
Maka dari sini kami berkesimpulan bahwa yang kuat
adalah pendapat yang pertama, yakni yang menyatakan bolehnya berniat di awal
ramadhan untuk sebulan penuh, wallahu a’lam.
==================
Referensi:
THE ISLAMIC JURISPRUDENCE AND ITS EVIDENCES, Jilid
III, karya Prof. Dr. Wahbah Al Zuhaily. (Tim penerjemah: Hendra Suherman, Eva
Fachrunnisa, Ali Mu'in Amnur, dan Zaimatussa'diyah)
[Al-Mughni: 3/9, Al-Majmu’: 6/302, Kitab Ash-Shiyam:
1/198-199, Asy-Syarhul Mumti’: 6/369, dan At-Taudhih: 3/151]
[Al-Mughni: 3/7, Al-Majmu’: 6/289-290, An-Nail: 4/196,
dan Al-Muhalla no. 728]
0 comments:
Post a Comment